Bismillah.
ini merupakan bagian kedua dari tulisan saya yang berjudul sama yaitu Kedudukan Akal dan Dalil (Wahyu) Part1.
Tulisan ini saya buat dalam rangka nasihat kepada kaum muslimin yang mungkin sedang belajar mendalami agama Islam ataupun yang sekadar terpengaruh syubhat tulisan2 kaum sekular, pluralis &liberalis sebagaimana yang sedang hangat dibicarakan khususnya di dunia maya belakangan ini. dalam rangka mengamalkan sabda Nabi kita yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam:
Pada tulisan saya sebelumnya, mungkin sebagian orang tidak setuju, bahkan mungkin menganggap tulisan tersebut tidak bermutu dan semacamnya. Namun hal tersebut bukanlah masalah selama ada kebaikan yang bisa disampaikan maka saya berusaha semampu saya untuk yang terbaik. Tujuan tulisan ini adalah untuk membantah syubhat (kerancuan) yang dikeluarkan oleh (sebagian kecil) penulis-penulis liberal. Saya pribadi tidaklah fokus kepada sosok penulisnya, karena ini bukanlah masalah siapa penulis tersebut, apakah masih muda, atau tua, tapi masalah idenya. Karena walaupun Si Penulis mungkin telah berhenti menulis, mengaku salah atau mungkin sudah bertaubat, tapi ide-ide yang sudah terlanjur tersebarlah yang berbahaya. Bisa jadi ide-ide ini sudah diyakini beberapa kaum muslimin sehingga memudharatkan dirinya. inilah yang ingin kita hentikan.
Beberapa ide dalam tulisan-tulisan pengusung logika dalam beragama antara lain adalah menganggap bahwa tidak boleh seorang muslim berkata kafir kepada nonmuslim. Hal ini dipandang bentuk penghinaan. Tulisan kali ini mencoba membahas masalah ini.
Pengertian Kafir
Kāfir (كافر kāfir; plural كفّار kuffār) artinya adalah menolak atau tidak percaya, atau secara singkat kafir adalah kebalikan dari percaya (beriman).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kafir adalah orang yang tidak percaya kepada Allah dan rasul-Nya. Ada kafir harbi yaitu orang kafir yang mengganggu dan mengacau keselamatan Islam sehingga wajib diperangi, ada kafir muahid yaitu orang kafir yang telah mengadakan perjanjian dengan umat Islam bahwa mereka tidak akan menyerang atau bermusuhan dengan umat Islam selama perjanjian berlaku, dan ada kafir zimi yaitu orang kafir yang tunduk kepada pemerintahan Islam dengan kewajiban membayar pajak bagi yang mampu. [sumber ]
saya rasa penjelasan mengenai makna kafir sudah jelas dengan pengertian umum di atas. Maka sekarang kita gunakan pendekatan untuk menggunakan istilah kafir tersebut kepada kalangan di luar Islam.
Setiap komunitas, organisasi, institusi, grup atau apapun nama dan bentuk kelompoknya sudah pasti ada istilah untuk "orang dalam" dan "orang luar" kelompoknya. Pembagian golongan ini bisa berdasarkan apa saja, apakah berdasarkan pekerjaan, latar belakang, bahkan keyakinan. contohnya dalam istilah negara kita ada pembedaan status WNI (Warga Negara Indonesia) dan ada WNA (Warga Negara Asing) berdasarkan syarat-syarat dan ketentuan yang berlaku. Tidak bisa semua orang kita katakan WNI, atau WNA semua. Bagi yang ingin jadi WNI bisa jika memenuhi syarat & ketentuan yang ditetapkan pemerintah tentu saja.
Nah, dalam Islam pembagian ini juga berlaku. Seorang "dalam" lingkungan Islam disebut muslim/mu'min dan orang "luar" kita katakan kafir. Tidak mungkin kita katakan semua orang itu muslim/mu'min. Sebalikanya tidak mungkin kita katakan kafir. Jika ingin dikatakan muslim/mu'min maka ada syarat dan ketentuan yang harus terpenuhi. Perkara ini seluruh kaum muslimin sudah tahu saya rasa. Hanya tersebar syubhat bahwa istilah kafir tidak boleh digunakan untuk kalangan A, B dst. Padahal kita tahu bersama orang yang bersangkutan bukanlah seorang muslim, tidak beriman kepad Allah ta'ala, tidak beriman kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak beriman kepada Al Qur'an.
Bagaimana bisa seorang yang mengingkari Allah ta'ala, mengingkari Al Qur'an, mengingkari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kita tidak sebut dia kafir (menolak/ingkar)? Atau bahkan kita kategorikan sebagai muslim/mu'min (orang beriman)? Na'udzubilah. Lagi-lagi syubhat orang-orang Sekularis, pluralis dan liberalis ingin menggugat konsep ini. Padahal ini konsep yang sederhana dan bisa diterima semua kalangan. Tapi dengan syubhat hal yang terang benderang ini menjadi redup dan tidak sedikit kaum muslimin yang akhirnya terpengaruh sehingga kaum muslimin tidak berani mengkafirkan orang yang ststusnya jelas-jelas kafir dalam pandangan Islam.
Padahal mengkafirkan ini termasuk aqidah kaum muslimin. karena jika tidak ada konsep ini, maka konsep-konsep dan hukum syariat Islam akan menjadi rancu. Bahkan jika kita tidak mengkafirkan orang yang tidak telah jelas nyata menunjukkan kekafirannya ini berarti kita mengingkari banyak sekali ayat-ayat Al Qur'an dan Hadits-hadits shahih.
Sebagaimana Firman Allah ta'ala dala AL Qur'an:
“Artinya : Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata : ‘Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih putra Maryam”. [Al Maidah:17]
“Artinya : Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga” [Al Maidah:73]
“Artinya : Orang-orang kafir dari Bani Israel telah dilaknat melalui lisan Daud dan Isa putra Maryam” [Al Maidah : 78]
“Artinya : Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahanam..” [Al Bayyinah : 6]
Apakah kita ragu terhadap Al Qur'an yang diturunkan kepada kita??
jika ada keraguan maka ketahuilah bahwa kita terjerumus dalam kekufuran dan inilah yang diinginkan oleh iblis dan para pengikutnya.
Mereka menanamkan syubhat agar kaum muslimin tidak mengkafirkan orang kafir dengan Alasan secara logika itu akan menimbulkan permusuhan, menimbulkan diskriminasi, menimbulkan ini dan itu. Sebaliknya jika jika kaum muslim berhenti mengkafirkan orang kafir maka akan tercipta kedamaian, ketentraman dll. Benarkah ini? Ketahuilah ini hanyalah teori berdasarkan perasaan mereka semata. Allah ta'ala berfirman :
“Artinya : Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu)” [Al Qalam :9]
Oleh karena itulah stigma yang beredar dalam masyarakat bahwa kata "kafir" berkonotasi sanga negatif. Hal ini mungkin dirasakan oleh orang-orang diluar Islam sebagai "pelecehan" bagi mereka. Namun jika kita review kembali, apakah seseorah harus merasa didiskriminasi jika katakan "Anda orang asing" jika sebenarnya dia benar-benar WNA?
Begitu pula dengan sebutan-sebutan lain seperti "pendatang", atau "orang luar" dan semacamnya.
Seharusnya hal tersebut dimengerti dengan memahami bahwa memang ada aturan yang mengatur itu semua. Pemerintah membuat aturan tentang WNI dan WNA tentu bukan bermaksud mendiskriminasi atau semacamnya, namun menempatkan seseorang sesuai dengan hak dan kewajibannya agar tidak terjadi ketidakadilan. Dengan aturan itu pula pemerintah melindungi warganegaranya. Masing-masing pihak (WNI dan WNA) punya hak dan kewajiban. Justru jika konsep WNI dan WNA ini dihilangkan dampak buruknya akan besar sekali. Demikian juga dalam Islam.
Dalam hal ini penulis bikan berarti mendukung tindakan bully atau semacamnya dengan menggunakan kata-kata "kafir" ini. Tentu tidak kita benarkan juga orang-orang yang berkata secara serampangan.
Adanya konsep kafir-muslim/mu'min ini sebenarnya hendaknya digunakan dalam situasi yang tepat. Konsep kafir-muslim/mu'min ini sejatinya adalah dasar dari konsep dakwah kita. dimana hendaknya kaum muslimin menjelaskan kedudukan seorang muslim dan kedudukan seorang kafir dalam pandangan agama Islam. Sehingga dengan dasar kelembutan dan kasih sayang kita dakwahi orang-orang kafir agar bisa selamat di dunia dan akhiratnya.
Sekali lagi konsep kafir-muslim/mu'min harus ditanamkan kepada seluruh kaum muslimin dan tidak boleh diingkari karena ini sudah tetap dalam syariat Islam yang mulia ini. katakan kafir kepada orang yang jelas kafir dan katakan muslim/mu'min kepada kaum muslimin. Namun penggunaan kata kafir hendaknya dengan hikmah dan atas dasar dakwah. Dakwah tentu tidak harus dengan kata-kata, karena tidak setiap orang mampu merangkai kata untuk berdakwah. Namun dakwah dengan perbuatan juga tidak kalah pentingnya.
Saya tutup tulisan kali ini dengan firman Allah ta'alaAllah Ta’ala berfirman,
Allah Ta’ala berfirman,
Demikian tulisan ringan ini penulis rangkai, tentu masih jauh dari sempurna dan jika ada masukkan bisa dituliskan di komentar. wallahua'lam.
bersambung In Syaa Allah.
ini merupakan bagian kedua dari tulisan saya yang berjudul sama yaitu Kedudukan Akal dan Dalil (Wahyu) Part1.
Muslim - kafir |
عن أبي رقية تميم بن أوس الداري رضي الله
عنه, أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: «الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ» قلنا:
لمن؟ قال: «لله, ولكتابه, ولرسوله, لأئمة المسلمين وعامتهم». رواه مسلم
Dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus ad-Daary radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Agama itu nasihat”. Kami pun bertanya, “Hak siapa (nasihat itu)?”. Beliau menjawab, “Nasihat itu adalah hak Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, pemerintah kaum muslimin dan rakyatnya (kaum muslimin)”. (HR. Muslim)
Pada tulisan saya sebelumnya, mungkin sebagian orang tidak setuju, bahkan mungkin menganggap tulisan tersebut tidak bermutu dan semacamnya. Namun hal tersebut bukanlah masalah selama ada kebaikan yang bisa disampaikan maka saya berusaha semampu saya untuk yang terbaik. Tujuan tulisan ini adalah untuk membantah syubhat (kerancuan) yang dikeluarkan oleh (sebagian kecil) penulis-penulis liberal. Saya pribadi tidaklah fokus kepada sosok penulisnya, karena ini bukanlah masalah siapa penulis tersebut, apakah masih muda, atau tua, tapi masalah idenya. Karena walaupun Si Penulis mungkin telah berhenti menulis, mengaku salah atau mungkin sudah bertaubat, tapi ide-ide yang sudah terlanjur tersebarlah yang berbahaya. Bisa jadi ide-ide ini sudah diyakini beberapa kaum muslimin sehingga memudharatkan dirinya. inilah yang ingin kita hentikan.
Beberapa ide dalam tulisan-tulisan pengusung logika dalam beragama antara lain adalah menganggap bahwa tidak boleh seorang muslim berkata kafir kepada nonmuslim. Hal ini dipandang bentuk penghinaan. Tulisan kali ini mencoba membahas masalah ini.
Pengertian Kafir
Kāfir (كافر kāfir; plural كفّار kuffār) artinya adalah menolak atau tidak percaya, atau secara singkat kafir adalah kebalikan dari percaya (beriman).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kafir adalah orang yang tidak percaya kepada Allah dan rasul-Nya. Ada kafir harbi yaitu orang kafir yang mengganggu dan mengacau keselamatan Islam sehingga wajib diperangi, ada kafir muahid yaitu orang kafir yang telah mengadakan perjanjian dengan umat Islam bahwa mereka tidak akan menyerang atau bermusuhan dengan umat Islam selama perjanjian berlaku, dan ada kafir zimi yaitu orang kafir yang tunduk kepada pemerintahan Islam dengan kewajiban membayar pajak bagi yang mampu. [sumber ]
saya rasa penjelasan mengenai makna kafir sudah jelas dengan pengertian umum di atas. Maka sekarang kita gunakan pendekatan untuk menggunakan istilah kafir tersebut kepada kalangan di luar Islam.
Setiap komunitas, organisasi, institusi, grup atau apapun nama dan bentuk kelompoknya sudah pasti ada istilah untuk "orang dalam" dan "orang luar" kelompoknya. Pembagian golongan ini bisa berdasarkan apa saja, apakah berdasarkan pekerjaan, latar belakang, bahkan keyakinan. contohnya dalam istilah negara kita ada pembedaan status WNI (Warga Negara Indonesia) dan ada WNA (Warga Negara Asing) berdasarkan syarat-syarat dan ketentuan yang berlaku. Tidak bisa semua orang kita katakan WNI, atau WNA semua. Bagi yang ingin jadi WNI bisa jika memenuhi syarat & ketentuan yang ditetapkan pemerintah tentu saja.
Nah, dalam Islam pembagian ini juga berlaku. Seorang "dalam" lingkungan Islam disebut muslim/mu'min dan orang "luar" kita katakan kafir. Tidak mungkin kita katakan semua orang itu muslim/mu'min. Sebalikanya tidak mungkin kita katakan kafir. Jika ingin dikatakan muslim/mu'min maka ada syarat dan ketentuan yang harus terpenuhi. Perkara ini seluruh kaum muslimin sudah tahu saya rasa. Hanya tersebar syubhat bahwa istilah kafir tidak boleh digunakan untuk kalangan A, B dst. Padahal kita tahu bersama orang yang bersangkutan bukanlah seorang muslim, tidak beriman kepad Allah ta'ala, tidak beriman kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak beriman kepada Al Qur'an.
Bagaimana bisa seorang yang mengingkari Allah ta'ala, mengingkari Al Qur'an, mengingkari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kita tidak sebut dia kafir (menolak/ingkar)? Atau bahkan kita kategorikan sebagai muslim/mu'min (orang beriman)? Na'udzubilah. Lagi-lagi syubhat orang-orang Sekularis, pluralis dan liberalis ingin menggugat konsep ini. Padahal ini konsep yang sederhana dan bisa diterima semua kalangan. Tapi dengan syubhat hal yang terang benderang ini menjadi redup dan tidak sedikit kaum muslimin yang akhirnya terpengaruh sehingga kaum muslimin tidak berani mengkafirkan orang yang ststusnya jelas-jelas kafir dalam pandangan Islam.
Padahal mengkafirkan ini termasuk aqidah kaum muslimin. karena jika tidak ada konsep ini, maka konsep-konsep dan hukum syariat Islam akan menjadi rancu. Bahkan jika kita tidak mengkafirkan orang yang tidak telah jelas nyata menunjukkan kekafirannya ini berarti kita mengingkari banyak sekali ayat-ayat Al Qur'an dan Hadits-hadits shahih.
Sebagaimana Firman Allah ta'ala dala AL Qur'an:
“Artinya : Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata : ‘Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih putra Maryam”. [Al Maidah:17]
“Artinya : Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga” [Al Maidah:73]
“Artinya : Orang-orang kafir dari Bani Israel telah dilaknat melalui lisan Daud dan Isa putra Maryam” [Al Maidah : 78]
“Artinya : Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahanam..” [Al Bayyinah : 6]
Apakah kita ragu terhadap Al Qur'an yang diturunkan kepada kita??
jika ada keraguan maka ketahuilah bahwa kita terjerumus dalam kekufuran dan inilah yang diinginkan oleh iblis dan para pengikutnya.
Mereka menanamkan syubhat agar kaum muslimin tidak mengkafirkan orang kafir dengan Alasan secara logika itu akan menimbulkan permusuhan, menimbulkan diskriminasi, menimbulkan ini dan itu. Sebaliknya jika jika kaum muslim berhenti mengkafirkan orang kafir maka akan tercipta kedamaian, ketentraman dll. Benarkah ini? Ketahuilah ini hanyalah teori berdasarkan perasaan mereka semata. Allah ta'ala berfirman :
“Artinya : Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu)” [Al Qalam :9]
Oleh karena itulah stigma yang beredar dalam masyarakat bahwa kata "kafir" berkonotasi sanga negatif. Hal ini mungkin dirasakan oleh orang-orang diluar Islam sebagai "pelecehan" bagi mereka. Namun jika kita review kembali, apakah seseorah harus merasa didiskriminasi jika katakan "Anda orang asing" jika sebenarnya dia benar-benar WNA?
Begitu pula dengan sebutan-sebutan lain seperti "pendatang", atau "orang luar" dan semacamnya.
Seharusnya hal tersebut dimengerti dengan memahami bahwa memang ada aturan yang mengatur itu semua. Pemerintah membuat aturan tentang WNI dan WNA tentu bukan bermaksud mendiskriminasi atau semacamnya, namun menempatkan seseorang sesuai dengan hak dan kewajibannya agar tidak terjadi ketidakadilan. Dengan aturan itu pula pemerintah melindungi warganegaranya. Masing-masing pihak (WNI dan WNA) punya hak dan kewajiban. Justru jika konsep WNI dan WNA ini dihilangkan dampak buruknya akan besar sekali. Demikian juga dalam Islam.
Dalam hal ini penulis bikan berarti mendukung tindakan bully atau semacamnya dengan menggunakan kata-kata "kafir" ini. Tentu tidak kita benarkan juga orang-orang yang berkata secara serampangan.
Adanya konsep kafir-muslim/mu'min ini sebenarnya hendaknya digunakan dalam situasi yang tepat. Konsep kafir-muslim/mu'min ini sejatinya adalah dasar dari konsep dakwah kita. dimana hendaknya kaum muslimin menjelaskan kedudukan seorang muslim dan kedudukan seorang kafir dalam pandangan agama Islam. Sehingga dengan dasar kelembutan dan kasih sayang kita dakwahi orang-orang kafir agar bisa selamat di dunia dan akhiratnya.
Sekali lagi konsep kafir-muslim/mu'min harus ditanamkan kepada seluruh kaum muslimin dan tidak boleh diingkari karena ini sudah tetap dalam syariat Islam yang mulia ini. katakan kafir kepada orang yang jelas kafir dan katakan muslim/mu'min kepada kaum muslimin. Namun penggunaan kata kafir hendaknya dengan hikmah dan atas dasar dakwah. Dakwah tentu tidak harus dengan kata-kata, karena tidak setiap orang mampu merangkai kata untuk berdakwah. Namun dakwah dengan perbuatan juga tidak kalah pentingnya.
Saya tutup tulisan kali ini dengan firman Allah ta'alaAllah Ta’ala berfirman,
قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى
اللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي ۖ وَسُبْحَانَ
اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Katakanlah: “Inilah jalan
(agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada
Allah dengan ilmu (yang benar), Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk
orang-orang yang musyrik” (QS. Yusuf: 108).
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman
kepada Allah” (QS. Ali Imron: 110).
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang
menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata:
“Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri (Muslim)?” (QS. Fushshilat: 33).bersambung In Syaa Allah.
Kedudukan Akal dan Dalil (Wahyu) Part 2
Reviewed by IP Admin
on
10:18:00 AM
Rating:
No comments:
Anda dapat berkomentar menggunakan identitas apa saja. Silakan berkomentar dengan baik dan sopan. Sepatah kata Anda bisa jadi sangat berarti bagi Blog ini, in syaa Allah.