Pembuatan RPP
Pembuatan RPP

Kedudukan akal dan dalil (wahyu) part 1

Kedudukan akal dan dalil (wahyu) part 1
Kedudukan akal dan dalil (wahyu) part 1
 
Bismillah
Kelompok yang mengusung akal dalam beragama sebenarnya bukanlah perkara baru dalam sejarah perjalanan agama islam. Orang2 yang cenderung menggunakan akal dalam beragama biasanya terpengaruh oleh pemikiran filsafat (falasifah), mereka biasanya menimbang segala perkara dengan Pertimbangan sesuatu yang disebut "logika". orang-orang yang dikendalikan oleh hawa nafsu dan pelaku bid’ah, golongan menyimpang dalam Islam mengklaim bahwa ilmu-ilmu ilahi (akidah) itu masih ghâmidhah (kabur dan tak terpahami). Menurut mereka, tidak mungkin dimengerti kecuali melalui jalan ilmu manthiq dan filsafat. Bertolak dari sinilah kemudian mereka (kaum Mu’tazilah dan yang sepaham dengan mereka sampai era sekarang) mengadopsi ilmu filsafat untuk dijadikan sebagai perangkat pendukung untuk mendalami akidah Islam ( Tahâful Falâsifah 84. Nukilan dari Tanâquzhu Ahlil Ahwâ wal Bida’ fil ‘Aqîdah’ 1/103. Penulis menyertakan ilmu filsafat sebagai sumber pengambilan hukum kedelapan oleh kalangan ahli bid’ah). (dikutip dari https://almanhaj.or.id/3453-ilmu-filsafat-perusak-akidah-islam.html)
Dalam sejarah pemikiran Islam, filsafat digunakan dalam berbagai kepentingan. Para teolog rasional (mutakallimûn) menggunakan filsafat untuk membela iman khususnya dari para cendekiawan Yahudi dan Kristiani, yang saat itu sudah lebih "maju" secara intelektual. Sedangkan para filosof mencoba membuktikan bahwa kesimpulan-kesimpulan filsafat yang diambil dari gagasan filsafat Yunani tidak bertentangan dengan iman. Para filosof berusaha memadukan ketegangan antara dasar-dasar keagamaan Islam (Syari’ah) dengan filsafat, atau antara akal dengan wahyu. Para filosof Muslim banyak mengambil pemikiran Aristoteles, Plato, maupun Plotinus, sehingga banyak teori-teori filosof Yunani diambil oleh filosof Muslim. Pengaruh filsafat Yunani inilah yang menjadi pangkal kontrafersi sekitar masalah filsafat dalam Islam. Sejauh mana Islam mengizinkan masukan dari luar, khususnya jika datang dari kalangan yang bukan saja Ahl al-kitab seperti Yahudi dan Kristen, tetapi juga dari orang-orang Yunani yang “pagan” atau musyrik. [ dikutip dari : http://filsafatkebingungan.blogspot.com/2015/10/filsafat-islam-sejarah-filsafat-islam.html?m=1 ].
Beberapa kalimat pembuka di atas saya kutip dari sebuah makalah yang tercantum Link nya di atas, namun secara kesimpulan saya bertolak belakang dengan makalah tersebut. Sedangkan para ulama telah menjelaskan tentang hal ini. Antara lain Al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah menceritakan, “Orang-orang yang muncul setelah tiga masa yang utama terlalu berlebihan dalam kebanyakan perkara yang diingkari oleh tokoh-tokoh generasi Tabi’in dan generasi Tabi’it Tabi’in. Orang-orang itu tidak merasa cukup dengan apa yang sudah dipegangi generasi sebelumnya sehingga mencampuradukkan perkara-perkara agama dengan teori-teori Yunani dan menjadikan pernyataan-pernyataan kaum filosof sebagai sumber pijakan untuk me’luruskan’ atsar yang berseberangan dengan filsafat melalui cara penakwilan, meskipun itu tercela. Mereka tidak berhenti sampai di sini, bahkan mengklaim ilmu yang telah mereka susun adalah ilmu yang paling mulia dan sebaiknya dimengerti” [ Fathul Bâri (13/253) ].
Ibnul Jauzi rahimahullah mengatakan, “Adapun sumber intervensi pemikiran dalam ilmu dan akidah adalah berasal dari filsafat. Ada sejumlah orang dari kalangan ulama kita belum merasa puas dengan apa yang telah dipegangi oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu merasa cukup dengan al-Qur`ân dan Sunnah. Mereka pun sibuk dengan mempelajari pemikiran-pemikiran kaum filsafat. Dan selanjutnya menyelami ilmu kalam yang menyeret mereka kepada pemikiran yang buruk yang pada gilirannya merusak akidah”.[ Shaidul Khâthir hlm. 226]
Dengan demikian kita tahu bahwa ajaran filsafat bukan berasal dari Islam itu sendiri bahkan "barang impor" dari negeri non muslim. Daya pikir kritis bukanlah hal yang haram dalam islam, namun islam memiliki koridor sendiri dalam menyalurkan pemikiran tersebut. Ada wilayah yang bisa kita kritisi ada yang tidak bisa kritisi. Yang perlu diperhatikan adalah adanya wilayah yang tidak bisa dikritisi bukan berarti perendahan kepada akal manusia, tapi justru merupakan bentuk perhatian kepada akal secara proporsional, sesuai kapasitasnya, sesuai kemampuannya. Dan inilah sebaik-baik tempat bagi akal. Belakangan ini ramai di media sosial tulisan2 orang2 yang mengaku menjunjung tinggi rasionalitas dalam beragama Islam, berkata agama ini adalah sekadar warisan dari orang tua, (bahkan tersirat di tulisan tersebut) seakan orang yang membela mati-matian agamanya digambarkan sebagai seorang "bodoh" karena berebut klaim warisan "terbaik". Wallahul musta'an. Alangkah dangkal nya pemikiran seperti ini.
Kalaulah agama ini adalah warisan orang tua, maka terlalu banyak kita lihat keyakinan orang tua berbeda dengan anaknya. Tak perlu lah kita nukil kisah para nabi yang begitu banyak contoh bahwa anak berbeda dengan orang tua, suami dengan istri dan sebagainya (karena kaum liberalis juga punya “doktrin” bahwa Al Qur’an tidak bisa dipercaya, tentulah kisah didalamnya tidak bisa dijadikan pegangan, na’udzubillah). Lihatlah di sekeliling kita saja, betapa banyak orang tua beragama A, berkeyakinan A sedang anaknya berkeyakinan B. Tidak mesti orang yang lahir di Eropa lantas jadi non muslim dari lahir sampai wafatnya. Atau sebaliknya orang yang lahir di Arab Saudi (misalnya) akan jadi seorang muslim dari lahir sampai wafatnya.
Ini menunjukkan masalah agama, masalah keyakinan adalah masalah HIDAYAH (istilah kami dalam islam), atau setidaknya bukanlah sesuatu yang "SEKADAR" WARISAN. Bahkan orang yang "merasakan/mendapatkan hidayah" ini dengan perjuangan, dengan pembelajaran bahkan dengan pengorbanan. Maka wajar saja ketika seseorang membela keyakinannya dengan segenap jiwa raganya, karena ini bukanlah sesuatu yang "gampangan". Saya rasa bukan hanya umat islam yg merasa demikian, tapi umat agama lain pun punya perasaan demikian.
Ide yang ditawarkan oleh tulisan ini adalah agar umat islam merasa tidak "paling benar" karena bagi si penulis rasa paling benar inilah sumber masalah di muka bumi ini. Lantas dia mengutip syair jalaludin rumi yang difatwa sesat pemikiran nya karena pernah “Aku seorang muslim, tapi aku juga seorang Nashrani, Brahmawi, dan Zaradasyti. Bagiku, tempat ibadah adalah sama… masjid, gereja, atau tempat berhala-berhala.” [ Dinukil dari Ash-Shufiyyah Fi Mizanil Kitabi Was Sunnah karya Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, hal.24-25.] tentu saja orang2 yang terkena pengaruh filsafat akan melakukan ta'wil untuk membela tokoh tersebut. Padahal "merasa paling benar" adalah fitrah sebagai manusia, bahkan sang pencetus perkataan "janganlah kalian merasa paling benar" sebenarnya juga merasa paling benar dengan ucapannya itu sendiri. Ironis memang.
Bahkan pada beberapa tulisan selanjutnya sang penulis remaja tersebut menuliskan kalimat kufur untuk meninggalkan dalil dan mengutamakan logikanya. Andaikan saja kita setuju (walaupun mustahil! Seorang muslim yang beriman rela meninggalkan dalil/wahyu karena tidak cocok dengan akalnya), lantas logika siapa yang hendak dijadikan patokan?? Logika dia? Logika jalaludin rumi? Logika orang plato? logika pendukung LGBT? Ataukah logika para ulama seperti imam syafi'i rahimahullah? Dengan percaya diri dia berkata orang yang menyampaikan dalil melakukan logical fallacy (mungkin setelah dapat masukan dari senior2 liberalisnya), padahal yang disampaikan adalah nasihat dari saudara seimannya yang notabene memang bertujuan untuk mengetuk hati sang penulis dengan nasihat tersebut, sang penasihat berusaha memberikan ilustrasi sederhana dari sudut pandangannya, berusaha tidak untuk menghakimi, tapi ternyata ditanggapi sebagai tulisan rendahan.
==kepada semua pihak yang "sangat logis" dan meremehkan agama pertanyaan ini saya ajukan ==
Kalaulah engkau begitu merasa logikamu adalah "kebenaran sejati", maka pastilah bisa menjawab pertanyaan berikut ini (karena salah satu faktor manusia beriman pada agama, pada kitab suci, pada dalil adalah untuk menjawab beberapa pertanyaan ini ) :
1. Terangkan kepada saya dengan logika, Anggap umur anda sudah 20thn dimana anda 21 tahun yang lalu?
2. Terangkan pada saya apa itu ruh atau jiwa atau nyawa? Apa komposisinya? Bagaimana wujudnya? Berapa kadarnya? Gak usah ruh/nyawa/jiwa saya, atau orang lain, jelaskan dan buktikan dengan ruh anda sendiri, yang anda hidup dengannya.
3. Terangkan pada saya apa itu akal atau logika? Apa komposisinya? Seberapa kadarnya? Kenapa ada orang yang kurang akalnya (barang kali saya juga termasuk) seperti idiot, bodoh atau semacamnya sedangkan orang lain tidak dikatakan demikian? Bagaimana wujudnya?
4. Apa yang akan anda katakan & lakukan BESOK HARI di waktu ini, menit ini, detik ini?
5. Apa perasaan ketika anda mati?
Bukankah pertanyaan2 semacam ini yang disukai oleh orang "cerdas" dan tentu saja tidak mungkin anda yang "cerdas" dan logika yang tinggi menjawab tidak tahu, atau menjawab dengan doktrin ajaran tertentu? Karena jika menggunakan dalil dari agama maka pastilah akan terjadi opsi mengambil salah satu keyakinan dan itu termasuk perasaan "paling benar" yang anda sekalian larang sendiri. Bersambung, in syaa Allah.
Kedudukan akal dan dalil (wahyu) part 1 Kedudukan akal dan dalil (wahyu) part 1 Reviewed by IP Admin on 6:50:00 AM Rating: 5

No comments:

Anda dapat berkomentar menggunakan identitas apa saja. Silakan berkomentar dengan baik dan sopan. Sepatah kata Anda bisa jadi sangat berarti bagi Blog ini, in syaa Allah.

iklan murah