Pembuatan RPP
Pembuatan RPP

Menyikapi Hadits Lemah (bag.1)

IslamyPersona. Menyikapi hadits Lemah (dho'if). Mungkin sebagian dari kita sering mendengar bahwa hadits tertentu berderajat Shahih, dan hadits lain berderajat dho'if (lemah). Apa sebenarnya perbedaannya? Bagaimana kita menyikapi hadits tersebut, bolehkah kita jadikan hadits lemah sebagai dasar untuk beramal atau menentukan hukum (sunnah atau bukan)? Pada kesempatan kali ini kita akan coba bahas tentang hal tersebut.



menyikapi hadits lemah
Hadits dho’if adalah setiap hadits yang mardud (tertolak) yang tidak memenuhi syarat hadits shahih atau hadits hasan. Boleh jadi hadits tersebut terputus sanadnya, terdapat perowi yang tidak ‘adl (tidak sholih), sering berdusta, dituduh dusta, sering keliru, atau hadits tersebut memiliki ‘illah (cacat yang tersembunyi) atau riwayatnya menyelisihi riwayat perowi yang lebih tsiqoh (lebih terpercaya) darinya.

Tersebarnya hadits dho’if atau yang lebih parah lagi hadits palsu menyebabkan berbagai amalan tanpa tuntunan tersebar di tengah-tengah ummat Islam. Perusakan Islam dengan cara seperti ini sebenarnya lebih parah dari penyerangan tentara Yahudi terhadap umat Islam. Karena yang merusak dengan menyebarkan hadits dho’if dan palsu adalah umat Islam sendiri, amat jarang dari luar Islam. Kita lihat sendiri semacam amalan puasa Nishfu Sya’ban atau shalat pada malam Nishfu Sya’ban terjadi karena motivasi dari hadits dho’if. Begitu pula beberapa dzikir tanpa tuntunan seringkali jadi amalan juga karena motivasi dari hadits-hadits dho’if atau bahkan palsu yang sengaja dibuat-buat oleh orang-orang yang bermaksud baik namun lewat jalan yang keliru.

Dalam Al Mawdhu’at, Ibnul Jauzi menukilkan perkataan Abul Fadhl Al Hamadani, di mana ia berkata, “Orang yang berbuat bid’ah dalam Islam dan yang sengaja membuat hadits maudhu’ (yang palsu yang diriwayatkan oleh perowi pendusta, pen), sebenarnya mereka lebih merusak daripada orang mulhid (musuh Islam). Karena orang mulhid bermaksud merusak Islam dari luar.”[Al Mawdhu’at, Ibnul Jauzi, 1/51, Mawqi’ Ya’sub.]

Siapa saja yang membicarakan suatu lantas ia katakan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal itu dusta, maka ia termasuk salah satu di antara dua pendusta dan ia terancam dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ِراَّنلا َنِم ُهَدَعْقَم ْأَّوَبَتَيْلَف اًدِّمَعَتُم َّىَلَع َبَذَك ْنَم

“Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka silakan ia mengambil tempat duduknya di neraka” (HR. Bukhari no. 1291 dan Muslim no. 3).

Bagaimana hukum beramal dengan hadits dho’if tentang fadhilah amal (keutamaan amal)? Ulama pakar hadits dan pakar fiqih dahulu dan sekarang terus berselisih pendapat dalam masalah ini. Itulah yang akan kita angkat pada pembahasan ini.

Pendapat yang Melarang secara Mutlak

Menurut sekelompok ulama, hadits dho’if tidak digunakan dalam fadho’il a’mal (menjelaskan keutamaan amal) dan juga tidak dalam masalah lainnya. Di antara ulama yang berpendapat seperti ini adalah Al Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya.

Muslim An Naisaburi rahimahullah mengatakan, “Hadits dalam agama ini boleh jadi membicarakan halal, haram, perintah dan larangan, atau boleh jadi membicarakan tentang dorongan/motivasi (targhib) atau ancaman (tarhib) tatkala melakukan sesuatu. Jika seorang perowi yang meriwayatkan hadits bukanlah orang yang jujur dan bukan orang yang memegang amanah, kemudian ada pula perowi yang tidak dijelaskan keadaannya, maka orang yang menyebarkan hadits yang mengandung perowi semacam ini adalah orang yang berdosa karena perbuatannya. Dia adalah orang yang telah mengelabui kaum muslimin yang awam. Akibat dari perbuatan semacam ini, orang-orang yang mendengar hadits-hadits dho’if semacam ini mengamalkannya, mengamalkan sebagian atau lebih banyak. Padahal di antara hadits-hadits tersebut ada yang berisi perowi pendusta, sebagian lainnya adalah hadits yang tidak diketahui asal usulnya.”[Shahih Muslim, Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naisaburi, 1/21, Darul Jail-Darul Afaq.] Intinya, Imam Muslim berpandangan bahwa hadits dho’if tidak boleh diamalkan sama sekali.

Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Apa yang dikatakan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab shahihnya –secara zhohir (tekstual)- bermakna hadits dalam masalah targib (memotivasi untuk beramal) diriwayatkan sama halnya dengan riwayat yang membicarakan tentang masalah hukum”[Syarh ‘Ilal At Tirmidzi, 1/ 373]. Artinya jika hadits yang membicarakan tentang masalah hukum tidak boleh berasal dari hadits dho’if, hal yang sama berlaku pula pada masalah fadhilah ‘amal.

Abu Bakr Ibnul ‘Arobi juga berpandangan tidak bolehnya menggunakan hadits dho’if secara mutlak baik dalam masalah fadhoil a’mal dan masalah lainnya.[Tadribur Rowi, 1/252] Pendapat ini juga yang menjadi pendapat Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah[Shahih At Targhib wa At Tarhib 67-1/47] dan juga murid-muridnya.

Pendapat yang Bersikap Lebih Ringan

Sebagian ulama ada yang memberi keringanan dalam menyebutkan hadits dho’if asalkan memenuhi tiga syarat:

1. Dho’if-nya tidak terlalu dho’if. 2. Hadits dho’if tersebut memiliki ashlun (hadits pokok) dari hadits shahih, artinya ia berada di bawah kandungan hadits shahih. 3. Tidak boleh diyakini bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakannya.

Dari sini, berarti jika haditsnya sangat dhoif (seperti haditsnya diriwayatkan oleh seorang pendusta), maka tidak boleh diriwayatkan selamanya kecuali jika ingin dijelaskan kedhoifannya.

Jika hadits tersebut tidak memiliki pendukung yang kuat dari hadits shahih, maka hadits tersebut juga tidak boleh diriwayatkan. Misalnya hadits yang memiliki pendukung dari hadits yang shahih: Kita meriwayatkan hadits tentang keutamaan shalat Jama’ah, namun haditsnya dhoif. Maka tidak mengapa menyebut hadits tersebut untuk memotivasi yang lain dalam shalat jama’ah karena saat itu tidak ada bahaya meriwayatkannya. Karena jika hadits tersebut dho’if, maka ia sudah memiliki penguat dari hadits shahih. Hanya saja hadits dho’if tersebut sebagai motivator. Namun yang jadi pegangan sebenarnya adalah hadits shahih.

Akan tetapi ada syarat ketiga yang mesti diingat, yaitu hendaklah tidak diyakini bahwa hadits dhoif tersebut berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syarat ketiga ini yang seringkali tidak diperhatikan. Karena kebanyakan orang menyangka bahwa hadits-hadits tersebut adalah hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena tidak ditegaskan kalau hadits itu dho’if. Akibatnya timbul anggapan keliru. Dalam syarat ketiga ini para ulama memberi aturan, hadits dho’if tersebut hendaknya dikatakan “qiila” (dikatakan) atau “yurwa” (ada yang meriwayatkan), tanpa kata tegas dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Demikian Pembahasan dari Menyikapi Hadits Lemah (bag.1). Artikel ini bersambung In Syaa Allah ke Menyikapi Hadits Lemah (Bag.2). Semoga Bermanfaat,


Menyikapi Hadits Lemah (bag.1) Menyikapi Hadits Lemah (bag.1) Reviewed by IP Admin on 4:44:00 AM Rating: 5

No comments:

Anda dapat berkomentar menggunakan identitas apa saja. Silakan berkomentar dengan baik dan sopan. Sepatah kata Anda bisa jadi sangat berarti bagi Blog ini, in syaa Allah.

iklan murah